Selasa, 26 Mei 2015

Tagged Under:

Hitam dan Pelangi

By: Unknown On: 5/26/2015 10:35:00 AM
  • Share The Gag
  • Hitam dan Pelangi
    Jiban_JW

    Pagi gerimis mengundang senyap. Angkutan antar kota mengantar, menuju kampus. Padahal sepeda motor yang biasa ku pakai bersender dipagar ruang tamu. Memang aku sempatkan naik angkutan umum, walaupun sekali dalam seminggu.
    “Aku berangkat dulu Bu!” Nadaku buru-buru sambil mencium tangan Ibu.
    “Hati-hati nak, jangan lupa baca do’a”.
    Matahari sejak tadi tak nampak batang hidungnya, terus saja ku langkahkan kaki. Bau tanah semerbak, percikan air berkelahi dengan lubang-lubang jalanan yang becek.
    * * *
    “Anjing!!!”. Gregetku dalam hati. “Manis banget senyumnya, dua gigi gingsul menjadi lukisan diraut muka, wajahnya berbinar. Bergegas aku langsung duduk dekat jendala paling belakang. Sontak pandanganku tak lepas dari bayangan wajah gadis itu, semuanya hening. Bagaikan kita berdua diantara padang berbunga pelangi.
    Dosen masih asyik menjelaskan mata kuliah, tapi pandanganku tetap ke satu arah, tak meleset walaupun 0,01 derajat. Dosen berbicara panjang lebar, bla-bla-bla-bla, suaranya jelas tapi tak satupun penjelasan tersebut masuk dalam otakku.
    “Tot, Tot, Gatot”. Tiga kali ku dengar, sepertinya ada yang memanggil namaku. “Astaga”. Tak sadar bahwa suara itu dari dosen. Pantas saja suara itu tak asing bagiku. Semua teman-teman sekelas menoleh kepadaku.
    “Sekarang giliranmu”
    “Giliran apa pak?”. Aku memang tak tahu, karena tidak mengikuti alur pembicaraan dosen.
    “Iya giliran kamu yang berbicara”
    “Tentang?”
    “Siapa orang-orang berpengaruh dalam hidupmu?”
    “Orang India pak”. Sontak satu kelas tertawa geli, bahkan salah satu temanku berseru. “Sejak kapan kau suka dengan India?”. Salah tingkah menghantui mukaku.
    Dosen mencoba menenangkan kelas yang mulai gemuruh. Selama ini mereka tahu bahwa aku suka musik bergenre tidak cengeng, musik yang tak lazim. Bagi mereka yang belum bisa menikmati dan merasakan akan menganggap musik enggak jelas didengarkan bahkan sulit dinikmati. Mereka juga tahu bahwa aku tidak menyukai lagu-lagu trend atau lagu populer, apalagi film-film India yang selama ini jadi bahan ngerumpi teman-teman cewe’ saat istirahat tiba. Bagiku tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan “menari dan bernyanyi” seperti tergambar didalam film-film India.
    “Tot, besok mau kemana?”. Seseorang dengan rambut belah tengah, tinggi menepuk punggungku dari belakang. Aku yang hendak keluar kelas sontak kaget. “Kamu Gatot kan”.
    “Iya,” aku mengangguk.
    “Saya Jana, dari Fakultas tetangga”. Kami berjalan menuju parkiran kampus bersamaan. “Nggak kemana-mana palingan bersih-bersih kamar. Emang ada apa?”.
    “Besok ikut aku, mau tidak?”
    “Kemana”
    “Udah tinggal ikut aja, besok jam 07.00 wib aku kerumah kamu”.
    ***
    Semalam aku udah dapat sms dari nomor baru. “Besok jam 7, bawa pakaian hangat, jangan lupa. Selamat istirahat”.
    Bel rumah berbunyi. Jam dinding menyeringai menunjukan pukul 06.45 wib ternyata  Jana sudah berdiri di depan. Lima belas menit berlalu, kami sudah tiba di stasiun. Kami bergegas menuju peron. Setelah sekian menit kereta datang. Lalu kami meninggalkan stasiun. Kereta begitu cepat meninggalkan kota kami. Didalam kereta aku terus bertanya kepada Jana. “Sebenarnya kita mau kemana sih, jauh nggak, tempatnya bagus nggak?”. Aku terus nerocos. Rasa penasaranku, cuma terbalas senyum dan Jana terus saja membaca buku. Entah buka apa yang ia baca. Sepertinya buku lama, warnanya sudah kuning kecoklatan.
    ***
    Wooww, aku terkagum-kagum melihat tempat yang kami kunjungi. Gedung-gedungnya pencakar langit tidak kalah dengan kota Metropolitan, bahkan lebih bagus dan bersih. Udara yang ku hirup, hamparan padang savana menghiasi gang-gang jalanan, beberapa gunung seakan membungkus kota. Aku tak berhenti geleng-geleng kepala, jingkrak-jingkrak seperti anak kecil baru dapat ice cream.
    “Ayok, kita kesana saja” Jana mengajakku sambil menunjuk ke satu arah.
    Kita bergegas berjalan menuju rumah asli adat sana.
    “Selamat datang di kampung Sokolimo”.
    “Mungkin sudah jarang sekali kampung seperti ini, ku jumpai di zaman sekarang.” Kedatangan kami disambut dengan ramah oleh warga adat setempat. Bagaikan tamu agung, nama Jana disebut-sebut bak selebritis bahkan melebihi kedatangan presiden. Hingga kami menetap disalah satu rumah penduduk adat.
    ***
    Nyanyian burung saling berbalas puisi menyambut kami yang baru membuka mata. Beberapa menit kemudian kami bergegas melihat aktifitas penduduk adat sana. Setiap kami berpapasan dengan orang, mereka menunduk memberi salam sebagai rasa hormat.
    “Walaupun penduduk sini berbeda suku, latar belakang, gender, bahkan kepercayaan, tapi lihatlah aktifitas mereka sehari-hari, mereka berjalan dengan tenang dan tentram tidak saling pukul ataupun berkelahi layaknya bocah sd berebut permen.” Jana mendeskripsikan keadaan kampung Sokolimo dengan santai. Seakan-akan dia sudah tahu betul tentang penduduk sana, seperti pernah menjadi warga Sokolimo. Sambil berbincang kami terus mengelilingi kampung, layaknya tour gate Jana menceritakan dengan detail keadaan kampung Sokolimo. Dari hal kecil hingga hal besar, Jana tahu persis.
    Aku semakin penasaran sebenrnya siapa dia, darimana dia tahu semuanya tentang kampung Sokolimo. “Jangan-jangan dia adalah... Ahh, aku semakin bingung saja”. Sambil ngedumel ngomong sendiri dalam hati kami terus berjalan.
    Beberapa jam kemudian kami besandar diantara pohon yang menjulang kearah danau besar. Begitu bersih dan terawat, walaupun aku lihat ada beberapa warga yang menangkap ikan, tetapi keadaan danau itu masih terjaga keasriannya.
    ***
    Kami memutuskan pulang. Sepertinya singkat sekali kunjungan kami. Waktu disana begitu cepat tapi membekas, bagai sebuah mimpi. Setibanya dikota, kami memutuskan pulang ke rumah masing-masing.
    Esok harinya aku beraktifitas seperti biasa, dari membereskan pekerjaan rumah hingga kuliah. Kejadian kemarin tidak gampang dilupakan. Rasanya ingin lagi berkunjung kesana. Hari ini aku berangkat kuliah dengan gairah baru. Otak dan tubuhku serasa fresh, bagaikan tidak ada beban.
    Setelah istirahat, aku bergegas mencari Jana. Aku datangi fakultasnya, tapi nggak ada. “Oh, mungkin dia lelah, gara-gara kemarin”. Aku menjawab sendiri. Esok hari, aku  juga mencarinya, dia juga nggak ada. Hampir setiap hari, aku berusaha mencari dia, karena setelah pulang kunjungan beberapa hari kemarin aku belum sempat mengucapkan terima kasih dan meminta alamat rumahnya serta nomor telephon yangku dapat, tidak bisa dihubungi. Aku datangi ke TU fakultas dia, tapi hasilnya nihil.
    “Nama yang anda cari tidak ada mas”. Kepala bidang TU menjawab pertanyaanku.
    Aku ngotot,
    “Masak Bu, coba dicek sekali lagi, siapa tahu hurufnya kurang satu”.
    “Kalau tidak percaya, anda cari sendiri”.
    Aku langsung meraih mouse komputer, lalu mulai mengetik nama di kolom pencarian daftar nama mahasiswa, memang hasilnya nihil.
    “Terima kasih, Bu..!”. aku kembali ke kelas, masih saja kepikiran. Sebenarnya siapa dia, aku terus bertanya dan menjawab sendiri membuat penasaran. Aku juga mencoba datangi kampung Sokolimo, anehnya kampung itu juga tidak ada. Padahal transportasi yang ku tuju sama, alamat yang ku datangi juga persis beberapa bulan lau ketika aku dan Jana kunjungi.
    “Dia itu berbeda, tidak seperti teman-teman yang selama ini aku kenal”. Mengapa aku terus mencari dia. Walaupun aku baru kenal satu hari dua malam, aku bisa menyimpulkan. “Dari penampilan yang sederhana, pengetahuannya luas, ketika kami berkunjung ke kampung Sokolimo, sepertinya dia disegani oleh penduduk sana. Tidak banyak bicara, tidak ikut-ikutan tren. Ketika kami ngobrol santai digerbong kereta. Aku memuji-muji Sumarni, cewe yang menjadi idola dikelasku, bahkan hampir satu kampus mengenal dia, tapi Jana hanya bersikap biasa ajah, bahkan tidak peduli dengan kecantikannya. Ketika aku berbicara tentang media sosial, tempat-tempat ramai yang heboh dikunjungi orang, kesenangan-kesenangan dunia, dia cuma tersenyum. “Semua itu tidak ‘kan bertahan lama”.
    Ketika kami dikampung Sokolimo, dia menceritakan banyak hal, orang-orang disana begitu segan, ketika ada masalah cepat terselesaikan, tidak berlarut-larut bahkan dibesar-besarkan dan malah jadi hilang. Penduduk kampung Sokolimo begitu patuh dengan pemimpin adat. Walaupun sama-sama mencari pangan mereka tidak saling rebut dan saling ikut.
    “Kini aku tak tahu lagi harus mencari kemana”.
    “Ada warna Hitam diantara warna Pelangi, memberi arti perjalanan angin lalu”.


    0 komentar: