Hitam
dan Pelangi
Jiban_JW
Pagi gerimis mengundang
senyap. Angkutan antar kota mengantar, menuju kampus. Padahal sepeda motor yang
biasa ku pakai bersender dipagar ruang tamu. Memang aku sempatkan naik angkutan
umum, walaupun sekali dalam seminggu.
“Aku berangkat dulu Bu!” Nadaku
buru-buru sambil mencium tangan Ibu.
“Hati-hati nak, jangan lupa baca do’a”.
Matahari sejak tadi tak nampak batang
hidungnya, terus saja ku langkahkan kaki. Bau tanah semerbak, percikan air
berkelahi dengan lubang-lubang jalanan yang becek.
*
* *
“Anjing!!!”. Gregetku
dalam hati. “Manis banget senyumnya, dua gigi gingsul menjadi lukisan diraut
muka, wajahnya berbinar. Bergegas aku langsung duduk dekat jendala paling
belakang. Sontak pandanganku tak lepas dari bayangan wajah gadis itu, semuanya
hening. Bagaikan kita berdua diantara padang berbunga pelangi.
Dosen masih asyik
menjelaskan mata kuliah, tapi pandanganku tetap ke satu arah, tak meleset
walaupun 0,01 derajat. Dosen berbicara panjang lebar, bla-bla-bla-bla, suaranya
jelas tapi tak satupun penjelasan tersebut masuk dalam otakku.
“Tot, Tot, Gatot”. Tiga
kali ku dengar, sepertinya ada yang memanggil namaku. “Astaga”. Tak sadar bahwa
suara itu dari dosen. Pantas saja suara itu tak asing bagiku. Semua teman-teman
sekelas menoleh kepadaku.
“Sekarang giliranmu”
“Giliran apa pak?”. Aku
memang tak tahu, karena tidak mengikuti alur pembicaraan dosen.
“Iya giliran kamu yang
berbicara”
“Tentang?”
“Siapa orang-orang
berpengaruh dalam hidupmu?”
“Orang India pak”.
Sontak satu kelas tertawa geli, bahkan salah satu temanku berseru. “Sejak kapan
kau suka dengan India?”. Salah tingkah menghantui mukaku.
Dosen mencoba
menenangkan kelas yang mulai gemuruh. Selama ini mereka tahu bahwa aku suka
musik bergenre tidak cengeng, musik
yang tak lazim. Bagi mereka yang belum bisa menikmati dan merasakan akan
menganggap musik enggak jelas
didengarkan bahkan sulit dinikmati. Mereka juga tahu bahwa aku tidak menyukai
lagu-lagu trend atau lagu populer,
apalagi film-film India yang selama ini jadi bahan ngerumpi teman-teman cewe’ saat istirahat tiba. Bagiku tidak semua
masalah bisa diselesaikan dengan “menari dan bernyanyi” seperti tergambar
didalam film-film India.
“Tot, besok mau
kemana?”. Seseorang dengan rambut belah tengah, tinggi menepuk punggungku dari
belakang. Aku yang hendak keluar kelas sontak kaget. “Kamu Gatot kan”.
“Iya,” aku mengangguk.
“Saya Jana, dari Fakultas tetangga”.
Kami berjalan menuju parkiran kampus bersamaan. “Nggak kemana-mana palingan bersih-bersih kamar. Emang ada apa?”.
“Besok ikut aku, mau
tidak?”
“Kemana”
“Udah tinggal ikut aja,
besok jam 07.00 wib aku kerumah kamu”.
***
Semalam aku udah dapat
sms dari nomor baru. “Besok jam 7, bawa
pakaian hangat, jangan lupa. Selamat istirahat”.
Bel rumah berbunyi. Jam
dinding menyeringai menunjukan pukul 06.45 wib ternyata Jana sudah berdiri di depan. Lima belas menit
berlalu, kami sudah tiba di stasiun. Kami bergegas menuju peron. Setelah sekian
menit kereta datang. Lalu kami meninggalkan stasiun. Kereta begitu cepat
meninggalkan kota kami. Didalam kereta aku terus bertanya kepada Jana.
“Sebenarnya kita mau kemana sih, jauh nggak,
tempatnya bagus nggak?”. Aku
terus nerocos. Rasa penasaranku, cuma
terbalas senyum dan Jana terus saja membaca buku. Entah buka apa yang ia baca.
Sepertinya buku lama, warnanya sudah kuning kecoklatan.
***
Wooww, aku
terkagum-kagum melihat tempat yang kami kunjungi. Gedung-gedungnya pencakar
langit tidak kalah dengan kota Metropolitan, bahkan lebih bagus dan bersih.
Udara yang ku hirup, hamparan padang savana menghiasi gang-gang jalanan,
beberapa gunung seakan membungkus kota. Aku tak berhenti geleng-geleng kepala,
jingkrak-jingkrak seperti anak kecil baru dapat ice cream.
“Ayok, kita kesana
saja” Jana mengajakku sambil menunjuk ke satu arah.
Kita bergegas berjalan
menuju rumah asli adat sana.
“Selamat datang di
kampung Sokolimo”.
“Mungkin sudah jarang
sekali kampung seperti ini, ku jumpai di zaman sekarang.” Kedatangan kami
disambut dengan ramah oleh warga adat setempat. Bagaikan tamu agung, nama Jana
disebut-sebut bak selebritis bahkan melebihi kedatangan presiden. Hingga kami
menetap disalah satu rumah penduduk adat.
***
Nyanyian burung saling
berbalas puisi menyambut kami yang baru membuka mata. Beberapa menit kemudian
kami bergegas melihat aktifitas penduduk adat sana. Setiap kami berpapasan
dengan orang, mereka menunduk memberi salam sebagai rasa hormat.
“Walaupun penduduk sini
berbeda suku, latar belakang, gender, bahkan
kepercayaan, tapi lihatlah aktifitas mereka sehari-hari, mereka berjalan dengan
tenang dan tentram tidak saling pukul ataupun berkelahi layaknya bocah sd
berebut permen.” Jana mendeskripsikan keadaan kampung Sokolimo dengan santai.
Seakan-akan dia sudah tahu betul tentang penduduk sana, seperti pernah menjadi
warga Sokolimo. Sambil berbincang kami terus mengelilingi kampung, layaknya tour gate Jana menceritakan dengan
detail keadaan kampung Sokolimo. Dari hal kecil hingga hal besar, Jana tahu
persis.
Aku semakin penasaran
sebenrnya siapa dia, darimana dia tahu semuanya tentang kampung Sokolimo.
“Jangan-jangan dia adalah... Ahh, aku semakin bingung saja”. Sambil ngedumel
ngomong sendiri dalam hati kami terus berjalan.
Beberapa jam kemudian
kami besandar diantara pohon yang menjulang kearah danau besar. Begitu bersih
dan terawat, walaupun aku lihat ada beberapa warga yang menangkap ikan, tetapi
keadaan danau itu masih terjaga keasriannya.
***
Kami memutuskan pulang.
Sepertinya singkat sekali kunjungan kami. Waktu disana begitu cepat tapi
membekas, bagai sebuah mimpi. Setibanya dikota, kami memutuskan pulang ke rumah
masing-masing.
Esok harinya aku
beraktifitas seperti biasa, dari membereskan pekerjaan rumah hingga kuliah.
Kejadian kemarin tidak gampang dilupakan. Rasanya ingin lagi berkunjung kesana.
Hari ini aku berangkat kuliah dengan gairah baru. Otak dan tubuhku serasa fresh, bagaikan tidak ada beban.
Setelah istirahat, aku
bergegas mencari Jana. Aku datangi fakultasnya, tapi nggak ada. “Oh, mungkin dia lelah, gara-gara kemarin”. Aku menjawab
sendiri. Esok hari, aku juga mencarinya,
dia juga nggak ada. Hampir setiap
hari, aku berusaha mencari dia, karena setelah pulang kunjungan beberapa hari
kemarin aku belum sempat mengucapkan terima kasih dan meminta alamat rumahnya
serta nomor telephon yangku dapat, tidak bisa dihubungi. Aku datangi ke TU
fakultas dia, tapi hasilnya nihil.
“Nama yang anda cari
tidak ada mas”. Kepala bidang TU menjawab pertanyaanku.
Aku ngotot,
“Masak Bu, coba dicek
sekali lagi, siapa tahu hurufnya kurang satu”.
“Kalau tidak percaya,
anda cari sendiri”.
Aku langsung meraih mouse komputer, lalu mulai mengetik nama
di kolom pencarian daftar nama mahasiswa, memang hasilnya nihil.
“Terima kasih, Bu..!”.
aku kembali ke kelas, masih saja kepikiran. Sebenarnya siapa dia, aku terus
bertanya dan menjawab sendiri membuat penasaran. Aku juga mencoba datangi
kampung Sokolimo, anehnya kampung itu juga tidak ada. Padahal transportasi yang
ku tuju sama, alamat yang ku datangi juga persis beberapa bulan lau ketika aku
dan Jana kunjungi.
“Dia itu berbeda, tidak
seperti teman-teman yang selama ini aku kenal”. Mengapa aku terus mencari dia.
Walaupun aku baru kenal satu hari dua malam, aku bisa menyimpulkan. “Dari
penampilan yang sederhana, pengetahuannya luas, ketika kami berkunjung ke
kampung Sokolimo, sepertinya dia disegani oleh penduduk sana. Tidak banyak bicara,
tidak ikut-ikutan tren. Ketika kami ngobrol santai digerbong kereta. Aku
memuji-muji Sumarni, cewe yang menjadi idola dikelasku, bahkan hampir satu
kampus mengenal dia, tapi Jana hanya bersikap biasa ajah, bahkan tidak peduli
dengan kecantikannya. Ketika aku berbicara tentang media sosial, tempat-tempat
ramai yang heboh dikunjungi orang, kesenangan-kesenangan dunia, dia cuma
tersenyum. “Semua itu tidak ‘kan bertahan lama”.
Ketika kami dikampung
Sokolimo, dia menceritakan banyak hal, orang-orang disana begitu segan, ketika
ada masalah cepat terselesaikan, tidak berlarut-larut bahkan dibesar-besarkan
dan malah jadi hilang. Penduduk kampung Sokolimo begitu patuh dengan pemimpin
adat. Walaupun sama-sama mencari pangan mereka tidak saling rebut dan saling
ikut.
“Kini aku tak tahu lagi
harus mencari kemana”.
“Ada warna Hitam
diantara warna Pelangi, memberi arti perjalanan angin lalu”.
0 komentar:
Posting Komentar