Secangkir Teh Melati
Jiban_JW
“Entah mengapa aku tak
bisa berkata-kata dihadapanmu. Selangkah saja kau berpaling dariku hati ini
berdebar bagai genderang perang. Aku tak mampu berpuisi apalagi beryanyi sendu,
hatiku terpaku oleh matamu mekar bagai senja tadi yang jalang”.
Malam itu bintang membungkus
langit, bulan menampakan wajah ramahnya. Rudy masih melamun di depan cermin.
Membayangkan gadis yang akhir-akhir ini membuat ia tak bisa tidur. Secangkir
teh bersanding menemani malam itu.
“Ya Tuhan inikah namanya
kekuatan cinta, apakah benar akan memberi mahkota. Sedang aku belum
memperjuangkan. Mengapa pula aku hampir jatuh karena cinta. Aku dibutakan oleh
cinta, memang benar kata pepatah cinta itu buta kalau tidak buta bukan cinta.
Hampir saja cinta melebihi takaran dibanding cintaku padaMu, hampir saja cinta
meluap melebihi cintaku kepada orangtua dan orang yang benar-benar cinta
kepadaku. Ya aku mencintai gadis itu, gadis yang benar-benar tak merespon
ketika aku dihadapnya sejak empat semester lalu. Entah kenapa dihadapan dia aku
seperti pohon pisang, tapi setelah ia berpaling dan menjauh aku malah merasa
kehilangan dan sepi bahkan puisi-puisi menemani dalam sepi”.
Rudy masih menghadap
cermin. Sesekali menyeruput teh. Rembulan semakin meredup tapi senyumnya tak
padam, terlihat dibalik jendela kamar lantai dua ia terus bertanya-tanya.
Sesekali ia berbaring diatas kasur dan memeluk guling menghadap langit,-langit.
“Andaikan bintang-bintang mampu menyampaikan isi hatiku”. Dari atas kasur ia
melirik keluar memandang bintang, malam itu bersinar bagaikan wajah dia.
***
Pagi menyelimuti kota. Sapaan
burung mungil, pohon-pohon menari sepanjang perjalanan. Lalu lalang jalanan,
anak-anak sekolah, orang kantoran, penjual koran, penjual bubur ayam mereka
menaruh harapan dibidangnya masing-masing. Begitu juga dengan Rudy mengayuh
sepeda menuju kampus.
Kontrak kuliah sudah
selesai, setelah teman-temannya keluar semua, ia hanya berdiri ditengah-tengah
pintu. “Ayo Rud pulang”. Salah satu temannya menyapa. Tapi ia cuma tersenyum
dan tak mengalihkan pandanganya. Dari sudut ke sudut kampus mata ia terus berjalan,
tidak lain kalau sekedar mencari keberadaan Melati. Pandangan Rudy mencair
setelah gadis idolanya berjalan bersama dua temannya dihalaman lapangan basket.
“Anjing”. Greget Rudy
“Manis banget raut
wajahnya berbinar, ikal rambutnya yang melambai tertiup angin. Harus dengan
cara apa agar aku bisa dekat dengan dia. Surat yang ku tulis selama ini dibaca
atau tidak”. Ia terus dialok dalam hati
Rudy mencintai Melati
bukan karena sensasi, berbodi seksi, merasa keki kepada orang lain apalagi
mempunyai dengki, melainkan prestasi. Melati memang cukup terkenal dikampusnya.
Tidak hanya cantik segudang penghargaan pernah didapat. Teman-teman Melati
sering mengatakan, ia welcome kepada
siapa saja baik yang suka sama dia maupun tidak.
***
“Yeah”
seru Rudy ketika melihat daftar pengumuman bahwa ia lulus menjadi panitia OSPEK
tahun ajaran ini. Ia senang karena disitu ada nama Melati, bahkan Melati
menjadi ketua pelaksana OSPEK. “Ini adalah kesempatanku agar akau dapat kenal
lebih dekat dengan dia. Tidak lewat mimpi, khayalan tingkat dewa”.
Sejak itu Rudy mengenal
dekat dengan Melati. Mulai bertukar pikiran. “Oh, jadi kamu yang ngirim
surat-surat misterius itu”. Melati membuka pembicaraan.
“Iya, tapi
surat-suratku sempat kamu baca ‘kan?”
“Sempat sih, tapi tidak
semua”
“Lantas mengapa tidak
pernah dibalas”
“Bagaimana
mau membalas, pengirimnya saja sok-sok’an pakai inisial, tidak ada alamatnya
lagi”
“Hehehe”. Rudi hanya menyeringai lebar
Ia lebih memilih
menyurat untuk menyampaikan pesan ketimbang media yang lain. Tidak peduli
dianggap kuno. Kecintaan Rudy menulis
surat tak lekang oleh waktu ketimbang sms. Karena Ia tidak suka hal-hal berbau
instan. “Sesuatu yang gampang akan mudah hilang dan sesuatu yang sukar didapat
atau berproses tidak mudah dilupakan. Begitu juga dengan cewek, semakin kita
banyak berproses untuk mendapatkan semakin banyak pembelajaran”.
Perjuangan Rudy untuk
Melati tidak semulus yang ada dalam mimpinya. Banyak orang-orang yang menyukai
Melati bahkan mencintai. Lihat saja setiap hari berapa cowok yang sms dia,
telephon dia. Apalagi ketika hari libur berapa cowok yang ingin apel
kerumahnya, jalan bersamanya. Dari anak penjual bubur hingga anak haji mabrur,
dari anak pejabat hingga anak konglongmerat. “Apa mungkin seorang mlarat mampu
mendapatkan cintamu wahai Melatiku. Semoga kamu tidak jatuh cinta. Aku percaya
kekuatan cinta akan tiba kepada orang yang ada kemauan memperjuangkan bukan
sekedar mempermainkan”. Rudy terus saja percaya bahwa cinta itu akan datang
pada saat yang tepat. Ia tidak peduli kepada orang-orang yang dekat dengan Melati.
Tidak peduli mereka pakai cara apa. Mau sms tiap detik, telephon setiap menit,
menyapa setiap jam, jalan tiap hari dan mencari perhatian setiap minggu.
***
Hari ini adalah hari
ulang tahun Melati. Rudy masih bingung mau mengucapkan dengan cara apa,
sedangkan orang-orang yang dekat dengan Melati sudah duluan mengucapkan dan
memberi hadiah. Sebuah boneka, gantungan kunci, sepatu, bantal Hello Kitty dsb.
Dihadapan cermin ia termangu nafasnya tersengal. Seduan teh menemani sore itu. Senja
terlihat murung dibalik jendela kamarnya. Lamunan Rudy membuat hati kelihatan
gelisah. Ia memegang pensil jari jemarinya memainkan pensil, membolak balikan.
“Wooyy”. Sambil menepuk
pundak Rudy Tiba-tiba suara mengagetkan lamunan.
“Haloo Kak, lagi
ngapain sepertinya sedang memikirkan sesuatu”
“Ehh kamu ya masuk ke
kamar Kakak nggak pakai salam dan
ketuk pintu main nyelonong aje. Pulang kapan kamu”
“Iya-iya aku minta
ma’af, ‘kan ceritanya kangen. Tiga minggu nggak
bertemu kakak. Aku baru saja kak nyampai, dijemput Ayah dan Ibu. Kakak
sedang apa?”
“Anak kecil mau tau
aja. Keppo!!!”
“Afri sudah gedhe kali Kak, ‘kan sudah bisa mandiri.
Pasti masalah cewe ya”. Afri terus saja ingin tahu urusan kakaknya. “Ciee Kakak
jatuh cinta. Sini bicara dengan adik yang kece badai, adik tahu kok masalah
cewek, hehehe”
Rudy yang masih bingung
membuka pembicaraan dengan adiknya. Dari situ muncul motivasi dan jalan keluar.
“Kakak ‘kan pintar
menggambar dan menulis mengapa tidak dimanfaatkan saja”. Lihatlah senja itu
Kak, lihat senyumya, lihat warnanya memerah jingga, mega-mega menari-nari
mengelilinginya”
Rudy mengiyakan saran
adiknya. Ia langsung ambil kertas. Ia mulai menorehkan goresan diatas kertas,
sambil memandang senja jingga. “Inilah rasaku bagaikan senja ini yang
menyeringai lebar”. Sambil menggambar ia berpuisi. Jadiah sebuah gambar dan
satu puisi. Setelah selesai ia bergegas keluar ke toko untuk membungkus kado
lalu pergi kerumah Melati.
“Mungkin hadiah ini tak
seberapa nilainya dibanding yang lain. Dalam keadaan yang sederhana aku
mengucapkan selamat ulang tahun dan ini yang aku bisa. Semoga kamu tetap
sederhana dan tidak berlebih-lebihan”. Setelah ngobrol beberapa lama Rudy lekas
pulang.
***
“Terima kasih ya Rud.
Hadiahnya bagus banget”
“Iya, sama-sama. Jangan
lebay gitu ah”.
“Mbak Teh satu dan es
cappucino satu”. Teriak Rudy kepapa penjual di area kantin.
“Sejak kapan kamu bisa
menggambar. Kalau tahu dari dulu kamu bisa menggambar. Kamu bisa ikut gabung
dengan tempat kerja Ayah saya. Ayah dan rekan-rekannya sendang menyelesaikan
produksi komik Nusantara. Sepertinya karyamu cocok”
“Hehehe”. Rudy malah
ketawa geli. “Ah, masak jangan bercanda gitu ah. Sepertinya gambarku ini biasa
saja”. Dikantin kampus mereka asyik nongkrong.
Kedekatan mereka sepertinya
mengalami perubahan yang drastis. Hari demi hari ada lampu hijau. Keduanya
sudah saling memperkenalkan orang tua mereka masing-masing. Tapi sayang Rudy
belum berani nembak Melati. Rudy masih ada keraguan. “Apakah seorang Melati
akan menerima aku dengan keadaan seperti ini. Apakah dia akan bahagia denganku
nanti sedang aku hanya mampu memberikan senyuman bukan materi masa depan”.
Pada suatu ketika
mereka jalan ke Mangrove Park, mereka berkeliling menyusuri bakau diatas prahu .
seharian mereka menghabiskan hari libur
bersama ketempat wisata yang dekat dengan rumah Rudy. Setelah dari Mangrove
park mereka beranjak ke kebun teh yang luasnya hampir 7 hektar. “Lihatlah Mel
pucuk-pucuk teh menari bersama angin lepas”. Rudy menunjuk kearah kebun teh.
“Kamu tahu tidak mengapa saya suka teh. Aromanya wangi, apalagi ketika
menghirup teh yang baru disedu serasa pikiran ini melayang fresh. kepala jadi enteng
seakan-akan tanpa beban, dibanding aroma minuman lain”. Ditengah-tengah kebun
teh tiba-tiba Rudy berhenti dan memegang kedua tangan Melati. Rudy memberanikan
diri mengungkapkan cintanya.
***
“Itulah hari bahagia,
tak terlupakan dalam perjalan hidupku. Ketika harum aroma secangkir teh bersama
mewangi Melati”.
0 komentar:
Posting Komentar