Jumat, 29 Mei 2015

Tagged Under:

INPOL

By: Unknown On: 5/29/2015 11:22:00 AM
  • Share The Gag


  • Intan
    Senja yang mulai habis dimakan langit sore itu menemani perjalanan pulang Intan menuju tempat teduh. Tak satu orangpun Ia temui, selain angin menari mendekati tubuh Intan yang tinggi berkulit gelap rambut panjang sampai pantat dan berkaca mata. Pertama kalinya jalan pulang itu berbeda dari hari-hari sebelumnya. Biasanya jalan itu penuh penjual nasi goreng, mie goreng, warung makan, segerombolan pemuda bermain kartu, sekedar minum dan nongkrong guyon lenyap entah kemana.
    “Intan !!! kamu dari mana?” Teriakan mengagetkan ternyata suara Karang
    “sepulang sekolah” Jawab Intan
    “ Jam segini baru pulang kemana aja?”
    “Oh, iya tadi saya bermain dulu, iseng ingin mencari suasana lain”
    “Mampir dulu ke rumah”
    “Terima kasih, mungkin bisa lain waktu. Jadi rumahmu disini, aneh saja padahal jalan ini tidak asing bagiku, tetapi mengapa baru sekarang aku tahu bahwa kamu tinggal disini, hampir tiga tahun kita satu almamater. Aku sudah ditunggu Ibu di rumah”.
                Setelah tiba di rumah Intan langsung masuk tanpa salam dengan muka menunduk berjalan menuju kamarya, wajahnya tampak hambar dan sedikit muram. “Dari mana saja kamu, jam segini baru pulang” Ibunya bertanya kepada Intan. Tetapi Intan mengabaikan pertanyaan Ibunya, Ia hanya diam dan masuk ke kamarnya.
                “Intan bangun sudah pagi” teriak sang Ibu sambil mengetuk pintu kamar. Memanggil-manggil nama Intan sampai berulang-ulang, bangun nduk! hari ini kamu berangkat sekolah nggak?, masih saja tidak ada jawaban. Ibunya terpaksa masuk, sambil membuka jendela kamar, “Intan bangun nggak usah manja“ Suara Ibunya yang semakin lantang tetapi Intan hanya menguap. “Sebentar lagi kan mau ujian akhir jangan malas-malasan” Ibunya membuka selimut yang masih menutupi tubuh Intan. “Alah!!! Nggak usah cari perhatian”. Intan dengan mata masih terpejam menyaut. “Sejak kapan Ibu mengatur dan memperhatikan hidupku, kemarin-kemarin kemana aja? Sejak Ayah tak lagi tinggal bersama kita keluarga ini mulai aneh”. Memang  hubungan mereka kurang baik setelah ditinggal Ayah Intan, mereka tidak jarang beradu mulut. “Selama ini kan Ibu cari uang untuk sekolah kamu” Jawab Ibunya
    “Cari uang apa cari uang” kata Intan. “Terus semalam, laki-laki yang bersama Ibu itu siapa”
    “Oh, itu..!!” Ibunya menjawab dengan sediki gugup. “Dia teman kantor Ibu”
    “Teman kok, pakai peluk-pelukan segala, mesra lagi. Selama ini aku nggak  boleh tau, pekerjaan Ibu itu apa?, jangan-jangan jadi istri simpanan maling-maling besar yang tinggal di luar Istana”
    “Jaga yaa! Omongan kamu, nggak perlu tahu Ibu kerja apa, yang penting bisa buat bayar sekolah kamu”
    “Apa kata Tuhan?, Intan harus jawab apa? malu Bu!! malu. Sampai kapan Ibu terus-terusan begini, pulang malam berpakaian tak pantas dilihat orang-orang sini. Lihat Bu! Tuhan sekarang sudah tampak, menghakimi sepihak, apa Ibu nggak takut
    “Sudah diam nggak usah diteruskan omongan kamu, tugas kamu saat ini adalah belajar. Kalau sudah terlanjur seperti Ibu, kamu mau jadi apa coba?”
    “Buat apa belajar!!, sudah berapa banyak orang-orang pintar disana membodohi kita. Apa Ibu rela aku jadi anak pintar?,”
    “Tapi kan sebentar lagi kamu ujian”
    “Ah, bodo!!! apalagi ujian, itu salah satu bentuk pembodohan selama akau jadi anak didik. Katanya melatih mental dan pembentukan karakter siswa-siwa, kenyataannya Ibu lihat saja setiap tahun berapa banyak yang lulus, berapa yang  gagal, berapa banyak yang bunuh diri, berapa banyak kecurangan, maling yang merajalela dan semakin menjadi-jadi setiap tahun. Belum lagi mereka yang sudah sarjana, apakah mereka sudah layak duduk di kursi tiap hari telanjang dan tidur ketika paripurna. Kalau sudah begini siapa yang mau disalahkan dan yang mau menanggung beban rakyat seperti kita. Boneka-boneka sibuk dengan dunia dan permainan mereka masing-masing. Raja hanya memikirkan tahta dan singgasana. Apa Dia mau menengok rakyatnya yang kelaparan dan menangis menunggu datang hujan.”
    “Justru itu to nduk!!!, rumah dan Istana kita masih butuh orang-orang sepertimu yang masih bisa berkesempatan mencari ilmu. Ibu yakin kamu bisa merubah segala apa yang ada di Istana.
    “Terus kenapa Ibu malah milih hidup seperti ini. Mengapa Ijazah sarjana nggak dipergunakan untuk masuk ke instansi.”
    “Oh, ya ku ingat cerita Ibu kemarin, eh bukan dua tahun yang lalu”
    “Katanya sudah gratis”
    “tidak! Itu hanyalah rayuan gila mereka untuk kita”
    “Dengar saja berita, mereka telanjang dan tidur ditengah paripurna, guru-guru yang seharusnya menjadi contoh masyarakat malah memperkosa sarjana, belum lagi anak didik yang tiga hari mati disodomi soal-soal basi, sekolah-sekolah disulap lokalisasi, pelajar tumbuh diperkosa teknologi. “ Dan lihat Ki Hajar Dewantara mati tertusuk Patimura, jasadnya tak lagi disirami.
    Tinggal nama, tulang belulangnya menjadi sarapan anjing”

                Mulai hari itu Intan tak mau lagi datang ke belajar apalagi datang ke tempat yang sejauh ini telah menjadi pembentukan karakter pada insan, tak satu temannya yang bisa menemui Intan. Terutama Karang yang mencoba berkali-kali ingin bertemu dengan Intan datang ke rumahnya, tetap saja hasilnya nihil. Hampir tiga tahun lama mengabur dibalik dera dekap semesta, awan yang pekat menjadi selimut di antara pahit-manisnya dunia. Suatu ketika karang yang dapat tugas dari dosen pengampu untuk meneliti keadaan prostitusi, Ia melihat wanita dengan postur tinggi berkulit gelap rambut panjang sampai pantat dan berkaca mata sedang melayani laki-laki tua untuk bersulang bersama.

    0 komentar: