Intan
Senja yang mulai habis dimakan langit sore
itu menemani perjalanan pulang Intan menuju tempat
teduh. Tak satu orangpun Ia temui, selain angin
menari mendekati tubuh Intan yang tinggi berkulit gelap rambut panjang sampai
pantat dan berkaca mata. Pertama kalinya jalan pulang itu berbeda dari
hari-hari sebelumnya. Biasanya jalan itu penuh penjual nasi goreng, mie goreng,
warung makan, segerombolan pemuda bermain kartu, sekedar minum dan nongkrong
guyon lenyap entah kemana.
“Intan !!! kamu dari mana?”
Teriakan mengagetkan ternyata suara Karang
“sepulang sekolah” Jawab Intan
“ Jam segini baru pulang kemana
aja?”
“Oh, iya tadi saya bermain dulu,
iseng ingin mencari suasana lain”
“Mampir dulu ke rumah”
“Terima kasih, mungkin bisa lain
waktu. Jadi rumahmu disini, aneh saja padahal jalan ini tidak asing bagiku,
tetapi mengapa baru sekarang aku tahu bahwa kamu tinggal disini, hampir tiga
tahun kita satu almamater. Aku sudah ditunggu Ibu di rumah”.
Setelah
tiba di rumah Intan langsung masuk tanpa salam dengan muka menunduk berjalan
menuju kamarya, wajahnya tampak hambar dan sedikit muram. “Dari mana saja kamu,
jam segini baru pulang” Ibunya bertanya kepada Intan. Tetapi Intan mengabaikan
pertanyaan Ibunya, Ia hanya diam dan masuk ke kamarnya.
“Intan
bangun sudah pagi” teriak sang Ibu sambil mengetuk pintu kamar. Memanggil-manggil
nama Intan sampai berulang-ulang, bangun nduk!
hari ini kamu berangkat sekolah nggak?, masih saja tidak ada jawaban.
Ibunya terpaksa masuk, sambil membuka jendela kamar, “Intan bangun nggak usah manja“ Suara Ibunya yang
semakin lantang tetapi Intan hanya menguap. “Sebentar lagi kan mau ujian akhir
jangan malas-malasan” Ibunya membuka selimut yang masih menutupi tubuh Intan.
“Alah!!! Nggak usah cari perhatian”.
Intan dengan mata masih terpejam menyaut. “Sejak kapan Ibu mengatur dan
memperhatikan hidupku, kemarin-kemarin kemana aja? Sejak Ayah tak lagi tinggal
bersama kita keluarga ini mulai aneh”. Memang
hubungan mereka kurang baik setelah ditinggal Ayah Intan, mereka tidak
jarang beradu mulut. “Selama ini kan Ibu cari uang untuk sekolah kamu” Jawab
Ibunya
“Cari uang apa cari uang” kata
Intan. “Terus semalam, laki-laki yang bersama Ibu itu siapa”
“Oh, itu..!!” Ibunya menjawab
dengan sediki gugup. “Dia teman kantor Ibu”
“Teman kok, pakai peluk-pelukan
segala, mesra lagi. Selama ini aku nggak boleh tau, pekerjaan Ibu itu apa?,
jangan-jangan jadi istri simpanan maling-maling besar yang tinggal di luar Istana”
“Jaga yaa! Omongan kamu, nggak perlu tahu Ibu kerja apa, yang
penting bisa buat bayar sekolah kamu”
“Apa kata Tuhan?, Intan harus jawab
apa? malu Bu!! malu. Sampai kapan Ibu terus-terusan begini, pulang malam berpakaian tak pantas
dilihat orang-orang sini. Lihat Bu! Tuhan
sekarang sudah tampak, menghakimi sepihak, apa Ibu nggak takut ”
“Sudah diam nggak usah diteruskan omongan kamu, tugas kamu saat ini adalah
belajar. Kalau sudah terlanjur seperti Ibu, kamu mau jadi apa coba?”
“Buat apa belajar!!, sudah berapa
banyak orang-orang pintar disana membodohi kita. Apa Ibu rela aku jadi anak
pintar?,”
“Tapi kan sebentar lagi kamu ujian”
“Ah, bodo!!! apalagi ujian, itu
salah satu bentuk pembodohan selama akau
jadi anak didik. Katanya melatih mental dan pembentukan karakter
siswa-siwa, kenyataannya Ibu lihat saja setiap tahun berapa banyak yang lulus,
berapa yang gagal, berapa banyak yang
bunuh diri, berapa banyak kecurangan, maling yang merajalela dan semakin
menjadi-jadi setiap tahun. Belum lagi mereka yang sudah sarjana, apakah mereka
sudah layak duduk di kursi tiap hari telanjang dan tidur ketika paripurna.
Kalau sudah begini siapa yang mau disalahkan dan yang mau menanggung beban
rakyat seperti kita. Boneka-boneka sibuk dengan dunia dan permainan mereka
masing-masing. Raja hanya memikirkan tahta dan singgasana. Apa Dia mau menengok
rakyatnya yang kelaparan dan menangis menunggu datang hujan.”
“Justru itu to nduk!!!, rumah dan Istana kita masih butuh orang-orang sepertimu
yang masih bisa berkesempatan mencari ilmu. Ibu yakin kamu bisa merubah segala
apa yang ada di Istana.
“Terus kenapa Ibu malah milih hidup
seperti ini. Mengapa Ijazah sarjana nggak dipergunakan untuk masuk ke
instansi.”
“Oh, ya ku ingat cerita Ibu
kemarin, eh bukan dua tahun yang lalu”
“Katanya sudah gratis”
“tidak! Itu hanyalah rayuan gila
mereka untuk kita”
“Dengar saja berita, mereka telanjang
dan tidur ditengah paripurna, guru-guru yang seharusnya menjadi contoh
masyarakat malah memperkosa sarjana, belum lagi anak didik yang tiga hari mati
disodomi soal-soal basi, sekolah-sekolah disulap lokalisasi, pelajar tumbuh
diperkosa teknologi. “ Dan lihat Ki Hajar Dewantara mati tertusuk Patimura,
jasadnya tak lagi disirami.
Tinggal nama, tulang belulangnya
menjadi sarapan anjing”
Mulai
hari itu Intan tak mau lagi datang ke belajar
apalagi datang ke tempat yang sejauh ini telah menjadi pembentukan karakter
pada insan, tak satu temannya yang bisa menemui
Intan. Terutama Karang yang mencoba berkali-kali ingin bertemu
dengan Intan datang ke rumahnya, tetap saja hasilnya nihil. Hampir tiga tahun
lama mengabur dibalik dera dekap semesta, awan yang pekat menjadi selimut di
antara pahit-manisnya dunia. Suatu ketika karang yang dapat tugas dari dosen
pengampu untuk meneliti keadaan prostitusi, Ia melihat wanita dengan postur
tinggi berkulit gelap rambut panjang sampai pantat dan berkaca mata sedang
melayani laki-laki tua untuk bersulang bersama.